KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur kami
haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah dengan judul Sengketa Internasional – sengketa antara
Indonesia dan Timor Leste untuk melengkapi materi pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan. Tetapi, makalah ini disusun bukan hanya sebagai pelengkap
materi pelajaran, namun juga untuk dapat menambah wawasan masyarakat umum yang
membaca makalah tentang sengketa yang terjadi antara negara Indonesia dan
negera lain ini.
Pada kesempatan ini kami
ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
berpartisipasi baik melalui dukungan moril maupun material sehingga
terselesainya makalah ini dengan tepat waktu. Terutama kepada:
Akhri kata ada sebuah
pepatah yang mengatakan “Tak ada gading yang tak retak” begitu juga makalah
ini. Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak sekali kekurangan
dalam hal isi makalah, oleh sebab itu kami mengharapkan adanya kritikan dan
juga saran yang membangun dari pembaca agar kami dapat melakukan hal yang lebih
baik lagi kedepannya. Terima kasih
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang....................................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah.................................................................................................. 1
C. Tujuan..................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Sengketa
antara Indonesia – Timor Leste............................................................ 2
B. Penyebab
Terjadinya Sengketa antara Indonesia – Timor Leste....................... 2
C. Pembahasan
Kasus................................................................................................. 4
D. Penyelesaian
Konflik ............................................................................................. 6
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN...................................................................................................... 8
B. SARAN.................................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 9
BAB
1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Di era modern ini banyak
sekali negara yang melakukan hubungan dengan negara lain untuk memenuhi
kebutuhan negaranya. Hubungan yang dijalin tersebut terikat dengan hukum internasional.
Tentu kita mengetahui dengan adanya hukum internasional sangat berdampak
positif dalam menjaga ketertiban hubungan internasional. Namun, belum tentu
suatu hubungan hukum yang terjadi antara para pihak tidak selalu berjalan
lancar. Adakalanya timbul ketidakserasian yang kemudian menimbulkan sengketa
diantara kedua belah pihak. Wilayah merupakan hal yang sering disangkut pautkan
dengan kedaulatan. Saat wilayah suatu negara dilanggar oleh negara lain, sama
dengan mengganggu kedaulatan suatu negara.
Sama halnya dengan negara
Indonesia dan Timor Leste, karena suatu wilayah kedua negara tersebut
bersengketa. Timor leste merupakan suatu negara yang dulunya termasuk kedalam
wilayah Indonesia. Setelah merdeka pada tanggal 20 Mei 2002, Timor Leste
resmi memisahkan diri dan membentuk negara baru yaitu Republic Rakyat
Demokratik Timor Leste. Persoalan kemerdekaan Timor Leste tentunya menjadi
cabuk tersendiri bagi pemerintah Indonesia yang tidak mampu menjaga wilayah
kedaulatan dan malah memilih opsi untuk memerdekaan Timor Leste.
Persoalan disintegrasi
Timor Leste dari Indonesia tidak selesai sampai disitu saja, masalah pelik yang
sering muncul yakni masalah perbatasan. Ada beberapa wilayah perbatasan antara
Indonesia – Timor Leste yang masih belum disepakati dan masih menjadi klaim
antar dua negara tersebut. Oleh karena itu, makalah ini disusun untuk mengupas
lebih jauh lagi konflik antara Indonesia dan Timor Leste atas perebutan wilayah
perbatasan tersebut juga dan mengupas penyebab dan berbagai cara yang ditempuh
untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
B. Rumusan
Masalah
Masalah-masalah yang akan
dibahas :
1. Sengketa
Perbatasan Indonesia – Timor Leste
2. Penyebab
sengketa antara Indonesia – Timor Leste
3. Cara
penyelesaian sengketa antara Indonesia – Timor Leste
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui sengketa internasional antara Indonesia – Timor Leste
2. Untuk
pengetahui penyebab sengketa antara Indonesia – Timor Leste
3. Untuk
mengetahui seberapa jauh penyelesaian sengketa antara Indonesia – Timor
Leste
4. Untuk
mengetahui cara penyelesaian sengketa antara Indonesia – Timor Leste
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sengketa
antara Indonesia – Timor Leste
Timor Leste merupakan
bagian dari wilayah Indonesia setelah pemerintah Indonesia menginvasikan
wilayah tersebut. Namun karena adanya berbagai macam gugatan dunia
internasional mengenai keabsahan invasi ABRI (sekarang TNI) terhadap Timor
Leste dipertanyakan, pelanggaran HAM berat dan ringan menjadi suatu polemic di masyarakat
internasional menjelang akhir tahun 1990-an atau tepatnya tahun-tahun menjelang
2000. Yang pada saat itu Indonesia juga mengalami krisis politik dan ekonomi
yang luar biasa pada tahun 1998 yang terkenal dengan sebutan reformasi. Situasi
tersebut dimanfaatkan oleh Jose Ramos Horta untuk meminta dukungan
internasional guna menekan pemerintah Indonesia. Akhirnya pada tanggal 30
agustus 1999 pemerintah Indonesia dibawah presiden Habibie mengadakan
referendum untuk Timor Leste dan akhirnya Timor Leste ingin memisahkan diri
dari Indonesia.
Kemerdekaan Timor Leste
membuktikan bahwa pemerintah Indonesia tidak dapat menjaga wilayah
kedaulatannya. Kemerdekaan yang diberikan itu juga tidak
menyelesaikan masalah-masalah yang di hadapi Indonesia malah timbul persoalan-persoalan
baru. Masalah perbatasan menjadi hal yang lumrah untuk diperdebatkan mengingat
kedua negara tersebut hanya berbatasan dengan tapal batas. Hingga sekarang
pemerintah Indonesia dan Timor Leste masih mempersoalkan masalah perbatasan
antara kedua negara di atas lahan seluas 1.211,7 hektare yang terdapat di dua
titik batas yang belum terselesaikan. Dua titik batas yang masih dipersoalkan
antara kedua negara yakni wilayah di Desa Oepoli, Kabupaten Kupang, yang
berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste, dengan luas 1.069 hektare dan
Batas lainnya yang masih bermasalah terletak di Bijai Suna, Desa Oben,
Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), yang juga berbatasan dengan distrik
Oecusse, Timor Leste, seluas 142,7 ha.
Wilayah perbatasan ini
sering menimbulkan konflik antara warga perbatasan yang banyak memakan korban
jiwa, memang pada tahun 2005 pemerintah Indonesia dan Timor Leste bertemu di
Bali untuk membahas masalah tapal batas kedua negara. Namun seiring berkembang
isu politik dan ekonomi antar kedua negara, wilayah perbatasan tersebut masih
menyisakan persoalan.
B. Penyebab
Terjadinya Sengketa antara Indonesia – Timor Leste
1. Pembangunan
jalan di dekat perbatasan
Pada Oktober 2013,
Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste membangun jalan di dekat perbatasan
Indonesia-Timor Leste, di mana menurut warga Timor Tengah Utara, jalan tersebut
telah melintasi wilayah NKRI sepanjang 500 m dan juga menggunakan zona bebas
sejauh 50 m. Padahal berdasarkan nota kesepakataan kedua negara pada tahun
2005, zona bebas ini tidak boleh dikuasai secara sepihak, baik oleh Indonesia
maupun Timor Leste. Selain itu, pembangunan jalan oleh Timor Leste tersebut
merusak tiang-tiang pilar perbatasan, merusak pintu gudang genset pos penjagaan
perbatasan milik Indonesia, serta merusak sembilan kuburan orang-orang tua
warga Nelu, Kecamatan Naibenu, Kabupaten Timor Tengah Utara. Pembangunan jalan
baru tersebut kemudian memicu terjadinya konflik antara warga Nelu, Indonesia
dengan warga Leolbatan, Timor Leste pada Senin, 14 Oktober 2013.
2. Insiden
penggiringan 19 ekor sapi
Eskalasi konflik semakin
meningkat setelah terjadi insiden penggiringan 19 ekor sapi milik warga
Indonesia yang diduga digiring oleh warga Timor Leste masuk ke wilayah mereka.
Selanjutnya, 10 warga Indonesia didampingi enam anggota TNI Satgas-Pamtas masuk
ke wilayah Timor Leste untuk mencari 19 ekor sapi tersebut. Sementara itu,
ratusan warga lainnya dari empat desa di Kecamatan Naibenu berjaga-jaga di
perbatasan dan siap perang melawan warga Leolbatan, Desa Kosta, Kecamatan Kota,
Distrik Oekussi, Timor Leste.
3. Pembangunan
di wilayah zona netral/telah melebihi batas wiayah.
Konflik tersebut bukan
pertama kali terjadi di perbatasan Indonesia-Timor Leste. Satu tahun
sebelumnya, konflik juga terjadi di perbatasan Timur Tengah Utara-Oecussi. Pada
31 Juli 2012, warga desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor
Tengah Utara, NTT, terlibat bentrok dengan warga Pasabbe, Distrik Oecussi,
Timor Leste. Bentrokan ini dipicu oleh pembangunan Kantor Pelayanan Bea Cukai,
Imigrasi, dan Karantina (CIQ) Timor Leste di zona netral yang masih
disengketakan, bahkan dituduh telah melewati batas dan masuk ke wilayah
Indonesia sejauh 20 m. Tanaman dan pepohonan di tanah tersebut dibabat habis oleh
pihak Timor Leste. Setelah terlibat aksi saling ejek, warga dari kedua negara
kemudian saling lempar batu dan benda tajam sebelum akhirnya dilerai oleh
aparat TNI perbatasan dan tentara Timor Leste. Menurut Kepala Desa Haumeni Ana,
Petrus Asuat, Selasa (16/9/2014) mengatakan, enam titik yang berpotensi konflik
itu yakni Subina di Desa Inbate, Pistana di Desa Nainaban dan Desa Sunkaen,
Tububanat di Desa Nilulat, Oben di Desa Tubu, Nefonunpo dan Faotben di Desa
Haumeni Ana.
4. Membuka
lahan pertanian di zona netral
Puluhan warga distrik
Oecusi Timor Leste dilaporkan membuka lahan pertanian di zona netral Sunkaen
(Pistana) yang merupakan satu dari empat titik sengketa antara Indonesia dan
Timor Leste yang berada disepanjang perbatasan Kabupaten Timor Tengah Utara,
Nusa Tenggara Timur. Luas lahan yang di garap itu diperkirakan mencapai 3000
meter persegi. Pembukaan lahan tersebut tentu saja merupakan sebuah
pelanggaran.
Kedua negara sudah sepakat
untuk menjadikan ke-empat lokasi sengketa sebagai daerah netral.
Kedua negara tidak boleh melakukan aktifitas apa pun di daerah
itu. Warga Oecusi secara sepihak telah mengklaim lokasi Sungkaen
sebagai wilayah Timor Leste. Empat titik sengketa di wilayah itu meliputi
Manusasi, Haumeni Ana, Inbate, dan Sungkaen. Pemerintah kedua negara sudah
berulang kali melakukan survei dan pemetaan dilokasi yang menjadi sengketa.
Apalagi tim negosiasi kedua negara memiliki bukti historis dan sejarah yang
berbeda mengenai kepemilikan lahan yang disengketakan.
C. Pembahasan
Kasus
1. Masalah Sengketa Perbatasan Indonesia –
Timor Leste
Persetujuan Penegasan dan
Penetapan Batas RI-RDTL tertuang dalam komunike bersama yang ditandatangani
oleh Menteri Luar Negeri RI Hasan Wirajuda dan Ketua UNTAET Sergio Viera de
Mello di Denpasar pada tanggal 2 Februari 2002. Selanjutnya pemerintah RI dan
UNTAET sepakat untuk segera melakukan peninjauan lapangan sebagai langkah awal
menuju penegasan dan penetapan batas wilayah RI-RDTL.
2. Wilayah/Area Permasalahan
Sengketa
1. Noel Besi / Citrana
Daerah sengketa terletak di
Kabupaten Kupang, dengan luas + 1.069 Ha, berawal dari sengketa lahan. Pada
waktu Timor Timur masih bergabung dengan NKRI, daerah Noel Besi/Citrana
merupakan daerah perbatasan Kabupaten Kupang (NTT) dengan kabupaten Ambeno
(wilayah Timor Timur). Daerah ini dialiri Sungai Noel Besi yang bermuara di
selat Ombai dimana sejak jaman Portugis aliran sungai mengalir di sebelah kiri
daerah sengketa.
Dari aspek yuridis, batas
Negara menurut Treaty/Traktat 1904 Belanda-Portugis disebutkan muara Sungai
Noel Besi mempunyai Azimuth kompas 300 47’ NW kearah pulau Batek dan dari aspek
Teknis (menurut Toponimi) nama Sungai Noel Besi terdapat di sebelah timur
Sungai Nono Noemna. Mengingat adanya perbedaan pandangan yang sangat tajam
tentang batas darat kedua Negara, masing-masing merasa perlu adanya
data/analisis yang lebih lengkap dan akurat.
2. Bijael Sunan/Manusasi
Daerah sengketa meliputi
daerah seluas ± 142,7 Ha, dikarenakan adanya perbedaan persepsi traktat/Treaty
juga di sebabkan karena masalah adat. Sebelum tahun 1893 daerah ini di kuasai
oleh masyarakat Timor Barat, namun antara 1893-1966 daerah ini di kuasai
masyarakat Timor Timur (Portugis). Pada tahun 1966, garis batas di sepanjang
Sungai Noel Miomafo digeser ke utara mengikuti puncak pegunungan/bukit
(watershed) mulai dari puncak Bijael Sunan sampai dengan barat laut Oben yang
ditandai dengan pilar Ampu Panalak.
Pertanyaan yang muncul
adalah bagaimana pemindahan batas wilayah yang dilakukan secara adat dengan
melintasi batas antar Negara/batas Internasional, disaksikan oleh Gubenur
Portugis dan NTT pada saat itu. Pada kasus manusasi terdapat 2 hal yang cukup
menarik, pertama menurut Treaty 1904 garis batas mengikuti Thalweg (walaupun
prinsip median line termasuk disepakati), kedua menurut adat, garis batas
mengikuti punggung bukit (Bukit Oelnasi). Prinsip delineasi berdasarkan
watershed/punggung bukit juga dianut dalam Treaty 1904.
3. Dilumil/Memo
Daerah bermasalah di
Dilumil/Memo Kabupaten Belu mencakup daerah seluas ± 41,9 Ha, berawal dari
sengketa lahan yang berada di delta S. Malibaka sebagai hasil proses
pengendapan. Dalam hal ini, pihak RI pada awalnya menghendaki batas wilayah
RI-RDTL berada disebelah timur Delta, sedangkan RDTL menghendaki di sebelah
barat Delta. Namun pada perkembangan terakhir (sesuai pertemuan TSC-BDR RI-RDTL
tahun 2004), pihak RI menghendaki penarikan batas sesuai median line yang
membagi dua river island/delta.
4. Subina-Oben.
Penyelesaian permasalahan
unsurveyed hingga sekarang belum ada kemajuan (titik temu). Oleh karena itu
perlu adanya upaya penyelesaian dengan merujuk pasal 6 Provisional Agreement
RI-RDTL (2005) yang melibatkan Pemda dan masyarakat setempat. Penegasan dan
penetapan batas antar kedua Negara dilakukan lewat forum kerjasama Technical
Sub Committee on Border Demarcation and Regulation (TSC-BDR), yang dibuat
berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah dilakukan oleh Belanda dengan
Portugis yaitu Colonial Boundary Treaty 1859, Convention 1893 dan Convention
1904, Masalah batas timbul karena adanya perbedaan fisik lapangan dan
penafsiran serta RDTL pernah menjadi salah satu propinsi NKRI.
Wilayah
yang menjadi sengketa tersebut sering menimbulkan konflik kekerasan antar warga
desa dua negara. Kemiskinan didaerah tersebut menjadi salah satu penyebab
konflik, mengingat daerag free zone (yang masih diklaim pihak Indonesia – Timor
Leste) adalah lahan persawahan yang cukup subur untuk pertanian. Sehingga
terkadang warga dari Timor Leste melakukan penanaman bibit pertanian dilahan
tersebut yang mana kegiatan tersebut tentunya sangat tidak disukai oleh warga
NTT diperbatasan. Seringnya pihak dari Timor Leste melakukan pembangunan gedung
maupun jalan yang melewati batas yang ditetapkan membuat pihak Indonesia geram.
Bentrok yang sering terjadi di beberapa desa yang telah disebutkan diatas,
perlu ada tindakan tegas dan negosiasi damai antara dua pihak (Indonesia dan
Timor Leste) untuk menyelsaikan konflik tersebut, sebelum konflik ini
berkembang menjadi besar sehingga dapat menimbulkan korban jiwa.
3. Analisa Konflik Perbatasan Indonesia –
Timor Leste
Konflik sendiri secara umum
didefinisikan sebagai situasi dimana dua atau lebih aktor berjuang untuk
mendapatkan sumber langka dalam waktu yang sama,atau setidaknya aktor-aktor
tersebut mempunyai posisi yang dipersepsikan dan diyakini berlawanan dalam satu
waktu yang sama. Secara lebih khusus, untuk sengketa dan konflik perbatasan,
Paul K. Huth menjelaskan ada tiga faktor mengapa wilayah perbatasan sering
disengketakan dan menjadi pemicu konflik, yaitu kandungan sumber daya alamnya,
Komposisi agama dan etnis dalam populasinya, dan lokasinya yang strategis
secara militer.
Sengketa perbatasan yang
terjadi antara Indonesia dan Timor Leste memang lebih disebabkan perebutan
lahan petanian (sumber daya alam) antara kedua warga negara yakni warga desa
Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Nilulat, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa
Tenggara Timur dan warga Pasabbe, Distrik Oecussi, Timor Leste. Permasalahan
mengenai penetepan sengketa batas wilayah antar kedua negara juga menjadi
pemicu, namun pendekatan pembangunan ekonomi berupa kesejahterhaan dan tingkat
pendidikan juga berpengaruh dalam konflik tersebut.
Resolusi konflik secara
umum dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik
secara konstruktif dengan cara mencari kesepakatan antara para pihak yang
terlibat dalam konflik.Menurut Vestergaard, resolusi konflik mencakup dua hal
utama, yaitu isu dan relasi (hubungan antar-aktor). Johan Galtung
memperkenalkan tiga pendekatan perdamaian dalam resolusi konflik. Pertama,
pemeliharaan perdamaian (peacekeeping), yaitu upaya untuk mengurangi atau
menghentikan kekerasan melalui intervensi yang dilakukan oleh pihak penengah,
umumnya dilakukan oleh militer. Kedua, penciptaan perdamaian (peacemaking),
yaitu upaya untuk menciptakan kesepakatan politik antarpihak yang bertikai,
baik melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi, maupun konsolidasi. Ketiga,
pembangunan perdamaian (peacebuilding) yaitu upaya rekonstruksi dan pembangunan
sosial ekonomi pasca konflik untuk membangun perubahan sosial secara damai.
Dengan tiga tahapan ini, diharapkan konflik bisa terselesaikan sampai ke akar
masalah, sehingga di masa mendatang konflik tersebut tidak pecah kembali.
Pemerintah Indonesia
ataupun Timor Leste harus bertemu secara langsung demi menciptakan perdamaian
di perbatasan, jangan sampai ketika konflik tersebut mengalami eskalasi baru
dua negara muali bertindak. Pendekatan semacam ini harus ditinggal, lebih baik
mencegah daripada mengobati. Persoalan kemapanan secara ekonomi maupun yang
disebut sebagai kesejahterahan adalah entry point yang harus segara mendapat
tindakan dari kedua negara. Intervensi militer memang dibutuhkan dalam ranah
pendekatan keamanan secara tradisional namun pendekatan human security harus
lebih diutamakan, karena ini menyangkut persoalan hak warga negara dan
menyangkut nama baik negara serta
keamanan
negara tentunya.
D. Penyelesaian
Konflik
Perdana Menteri Timor
Leste, Xanana Gusmao, melakukan kunjungan resmi dan menemui Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono untuk melakukan diskusi terkait sengketa batas. Berdasarkan
perjanjian perbatasan darat 2012, kedua negara telah menyepakati 907 koordinat
titik-titik batas darat atau sekitar 96% dari panjang total garis batas. Garis
batas darat tersebut ada di sektor Timur (Kabupaten Belu) yang berbatasan
langsung dengan Distrik Covalima dan Distrik Bobonaro sepanjang 149,1 km dan di
sektor Barat (Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara) yang
berbatasan langsung dengan wilayah enclave Oecussi sepanjang 119,7 km.
Dalam upaya diplomasi untuk
menyelesaikan sisa segmen yang belum disepakati, hambatan yang perlu
diantisipasi adalah perbedaan pola pendekatan penyelesaian yang digunakan oleh
masing-masing pihak. Pihak Timor Leste dengan dipandu oleh ahli perbatasan
UNTEA menekankan bahwa penyelesaian perbatasan hanya mengacu kepada traktat
antara Belanda-Portugis Tahun 1904 dan sama sekali tidak berkenan memperhatikan
dinamika adat-istiadat yang berkembang di wilayah tersebut. Sementara itu,
pihak Indonesia mengusulkan agar pendapat masyarakat adat ikut dipertimbangkan.
Pada tahun 2016
ini sedang berlangsung joint field survey (survei lapangan bersama) yang
dilakukan otoritas Indonesia dengan Timor Leste. Hal tersebut dilakukan,
terkait perundingan mengenai batas wilayah darat. Kemlu RI secara konsisten
sudah menyampaikan keberatan atas pembangunan secara permanen oleh pihak Tinor
Leste. Perwakilan Kemlu RI juga telah melakukan pemeriksaan lebih
lanjut mengenai rincian letak wilayah perbatasan antara Indonesia dan Timor
Leste. Tak hanya Kemlu, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan juga bernjanji
untuk memeriksa informasi mengenai pendirian bangunan permanen di wilayah
sengketa ini.
BAB
III
PENUTUP
A. Kritik
dan Saran
Ciri khas Indonesia adalah
bertindak jika sudah terjadi masalah. Begitu pula dengan kasus ini setelah
mendengar Timor Leste melakukan berbagai pelanggaran baru bertindak. Pertemuan
bilateral antara Indonesia dan Timor Leste memang perlu dilakukan guna membahas
konflik yang terjadi agar tidak meluas. Harus ada pertemuan lanjutan untuk
membahas masalah tersebut, mengingat sengketa perbatasan ini apaila tidak
ditangaani secara serius maka akibatnya akan besar dan menggangu hubungan antar
kedua negara.
Baik pihak Indonesia dan
Timor Leste harus bisa memberikan pemahaman mengenai batas-batas wilayah negara
masing-masing. Sehingga masyarakat di wilayah perbatasan faham betul mengenai
tapal batas. Juga Pemerintahan Indonesia harus melakukan pendekatan Democratic
Peace, berupa pembangunan SDM, ekonomi kesejahterahan dan tentunya pendidikan.
Pendekatan militer juga masih perlu digunakan, untuk mengamankan wilayah
perbatasan, setidaknya pemerintah Indonesia telah membangun penambahan pos
pantau perbatasan di beberapa titik perbatasan yang bersebarangan di Timor
Leste.
B. Kesimpulan
Sengketa antara Indonesia
dan Timor Leste terjadi karena perebutan batas wilayah yang hingga sekarang
belum ada penyelesaiannya. Penyebab sengketa tersebut karena Timor Leste
berulang-ulang kali melanggar kesepakatan yang telah disepakati tentang batas
wilayah tersebut. Hingga sekarang telah dilakukan berbagai upaya untuk meredam
persoalan ini agar tidak ada lagi bentrok yang hingga menimbulkan korban jiwa
seperti pertemuan antara Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmao
dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan diskusi
terkait sengketa batas pada tahun 2012. Upaya diplomatik juga telah dilakukan
dan pada tahun 2016 ini sedang berlangsung joint field survey (survei
lapangan bersama) yang dilakukan otoritas Indonesia dengan Timor Leste
DAFTAR
PUSTAKA
http://quincy93.blogspot.co.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar